“SIMBOLISASI KEKUASAAN DAN PERTENTANGAN KELOMPOK MASYARAKAT SIPIL DI
LAMPUNG SELATAN”
· Kesimpulan Pembahasan
Pembahasan
yang terdapat dalam buku Kontrol Atas Kesejahteraan Bab 15 mengenai kasus
perubuhan patung ZA Pagaralam terdapat beberapa kesimpulan dan permasalahan
yang terjadi pada masyarakat sipil di Lampung Selatan yang perlu dicermati,
yaitu:
Pertama,
pemerintah daerah (Kepala Daerah dan DPRD) harus dapat menempatkan demos sebagai aktor utama dalam pembuatan
kebijakan, dan selalu memperhatikan identitas lokal yang dapat tumbuh dan
berkembang serta dengan terus mempertahankan adat – istiadat, simbol – simbol
yang terdapat pada masyarakat.
Kedua,
tatakelola pemerintahan daerah semestinya berioentasi publik dalam pembangunan
di daerah, baik dari sisi subtansi maupun proses. Dari sisi subtansi
pembangunan berorientasi dalam pemecahan masalah dan pembangunan kesejahteraan
masyarakat tentu dengan mempertimbangkan identitas lokal yang adadalam
masyarakat dan paling penting pemerintah melibatkan masyarakat, termasuk ormas,
aktivis CSO, termasuk kelompok masyarakat adat dalam proses pembuatan
kebijakan, sehingga terjalin komunikasi sosial dan politik yang pantas.
Ketiga, pemberian
penghargaan pada seorang tokoh terlepas apakah ada hubungan keluarga atau tidak
adalah niat yang positif, namun demikian harus berangkat dari asas kegunaan dan
kepatutan. Penghargaan tersebut dapat dengan simbol simbol tetentu seperti, patung, nama jalan,
nama bangunan, dan monumen lainnya tanpa merugikan dan mengambaikan kebijakan
atau potensi yang lebih dibutuhkan masyarakat..
Keempat,
adanya degradasi aktor demokrasi lokal, khususnya aktor-aktor dominan yang
berkiprah sebagai pejabat publik anggota DPRD. Banyaknya penguasa yang memanipulasi
konsep demokrasi untuk melakukan kekuasaan dominan yang akhirnya menjadi dasar
dari penyipangan – penyimpangan yang dilakukan penguasa atau pemerintah yang
merugikan rakyat. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kapasitas dan peran
aktor demokrasi di daerah agar segala kebijakan – kebijakannya tidak menyimpang
dari seharusnya sesuai dengan konsep demokrasi.
Kelima, semakin
terbatasnya demos yang kritis dan cenderung terkotak-kotak. mereka cenderung
melakukan tindakan anarkis dalam merespon kebijakan yang tidak sesuai dengan
kepentingan masyarakat.
· Analisis Menurut Teori Karl Marx
Dalam
pembahsan Bab 15 terdapat keganjalan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
seperti dalam kutipan “Melihat data BPS
di tabel 15, menjadi lumrah tuntutan kelompok masyarakat dalam menolak
kebijakan pembangunan patung ZA Pagaralam yang dinilai sebagai bentuk
pemborosan, mengingat angka kemiskinan di Kabupaten Lampung Selatan masih
sangat tinggi yakni sebesar 19,23% pada tahun 2011.” Kasus tersebut dapat
dikaitkan dengan Teori Elite yang memberikan gagasan bahwa dalam suatu
negara atau masyarakat terdapat kelompok elit dan kelompok massa. Mosca
berpendapat kelompok elit terbagi atas dua kelas yaitu adanya penguasa yang
memiliki jumlah yang lebih kecil yang akan mnjalankan semua fungsi politik,
memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang dibrikan oleh kekuasaan
tersebut. Kelompok yang kedua adalah yang dikuasai yaitu kelompok yang
jumlahnya lebih besar dan dikendalikan oleh kelas penguasa.
Melihat
penjelasan kekuasaan menurut Teori Elit maka teori elit dapat
digolongkan kedalam Model kekuasaan Strukturalis yang berbasiskan atas
pemikrian Karl Marx tentang kelas. Dimana dalam teori tersebut menjelaskan bahwa adanya dua kelas dalam memandang
kekuasaan, yaitu adanya kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas
yang memerintah adalah orang yang berkuasa yang mampu dan memiliki kecakapan
memimpin dan menjalankan kontrol politik, sedangkan kelas yang diperintah
merupakan kelas yang dikendalikan oleh kelas yang memerintah. Model kekuasaan
strukturalis yang dikemukakan oleh Marx memandang juga melihat
ketidakadilan, konflik dan kekuasaan dalam hal struktural, sebagai kelas
kesenjangan, konflik kelas, dan kelas dominasi. Dalam penjelasan teori tersebut
sesuai dengan kasus yang terjadi di Lampung Selatan mengenai perubuhan
patung ZA Pagaralam kasus tersebut menyimbolkan adanya kekuasaan dominan yang
memanipulasi atas nama demokrasi karena kebijakan pembangunan patung ZA
Pagaralam yang dinilai sebagai bentuk pemborosan, mengingat angka kemiskinan di
Kabupaten Lampung Selatan masih sangat tinggi yakni sebesar 19,23% pada tahun
2011.
Dengan
adanya kekusaan dominan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut maka
terciptalah konsep teori dari Karl Marx yaitu Perjuangan kelas. Karena adanya pembrontakan yang
dilakukan oleh masyarakat sipil sebagai kelas yang dirugikan akan kebijakan
tersebu, seperti dalam kutipan “Secara
sepontan masyarakat dari berbagai unsur, baik kelompok aktivis, masyarakat adat
serta masyarakat umum yang berjumlah ribuan menunjukkan perilaku kolektifnya
sebagai bentuk menentang tindakan pembuat kebijakan, yaitu Bupati Lampung
Selatan.” Hasil dari perjuangan kelas tersebut memicu adanya timbulnya
konflik, karena terusiknya cultural
identity masyarakat adat Lampung Selatan. Konflik berasal dari
kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Atau dalam bahasa
Indonesia disebut sebagai pertentangan atau perselisihan yang terjadi pada
hubungan yang bersifat individual yang terjadi sebagai akibat perilaku atau
perbuatan kepentingan masing – masing individu yang bersangkutan. Kepentingan
itu bisa berkenaan dengan harta, kedudukan
atau jabatan, kehormatan, dan lain sebagainya.
·
Analisis
Menurut Teori Emile Durkheim
Dalam
pemahasan Bab 15 terdapat kesoladaritas yang kuat diantara masyarakat dalam
menentang kebijakan pemerintah, sepertidalam kutipan “Secara sepontan masyarakat dari berbagai unsur, baik kelompok aktivis,
masyarakat adat serta masyarakat umum yang berjumlah ribuan menunjukkan
perilaku kolektifnya sebagai bentuk menentang tindakan pembuat kebijakan, yaitu
Bupati Lampung Selatan”. Menurut Emile Durkheim Soladaritas dibagi menjadi
dua yaitu soladaritas mekanik dan soladaritas organik. Mengenai kasus perubuhan
patung ZA Pagaralam memicu timbulnya kesadaran mekanik yang terjadi pada
masyarakat dengan menunjukan adanya pemikiran yang sama dalam penolakan atas
kebijakan pemerintah yang bersifat tidak memntingkan rakyat. Emile Durkheim
berpendapat bahwa soladaritas mekanik adalah masyarakat yang memiliki
volume, intensitas, dan determinasi yang tinggi serta rasio konten agama yang
tinggi (menekankan komitmen dan kecocokan untuk mendiktekan kekuatan sakral). Sesuai dengan kasus yang terjadi pada masyarakat
Lampung Selatan yang menyatukan perbedaan demi mewujudkan tujuan bersama dalam
melawan kekuasaan yang otoriter dan dominan.
· Analisis Menurut Teori Max Weber
Dalam
pembahasan bab 15 ini terdapat teori Max Weber mengenai kekuasaan yang dapat
terlihat dalam kutipan “pemerintah daerah
(Kepala Daerah dan DPRD) harus dapat menempatkan demos sebagai aktor utama
dalam pembuatan kebijakan, dan selalu memperhatikan identitas lokal yang dapat
tumbuh dan berkembang serta dengan terus mempertahankan adat – istiadat, simbol
– simbol yang terdapat pada masyarakat”. Menurut Max Weber kekuasaan
sebagai kemungkinan bagi seseorang untuk memaksakan orang – orang lain
berprilaku sesuai dengan kehendaknya. Kekuasaan (power) digambarkan dengan
berbagai cara kekuasaan diartikan sebagai kemungkinan mempengaruhi tingkah laku
oarang – orang. Dalam politik kekeuasaan diperlukan untuk mendukung dan
menjamin jalannya sebuah keputusan politik dalam kehidupan masyarakat.
Keterkaitan logis antara politik dengan kekuasaan menjadikan setiap pembahasan
tentang politik, selalu melibatkan kekuasaan didalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar