Sabtu, 17 Desember 2016

Pembahasan Buku Berebut Kontro atas Kesejahteraan Bab. 15




“SIMBOLISASI KEKUASAAN  DAN PERTENTANGAN KELOMPOK MASYARAKAT SIPIL DI LAMPUNG SELATAN”

·      Kesimpulan Pembahasan
Pembahasan yang terdapat dalam buku Kontrol Atas Kesejahteraan Bab 15 mengenai kasus perubuhan patung ZA Pagaralam terdapat beberapa kesimpulan dan permasalahan yang terjadi pada masyarakat sipil di Lampung Selatan yang perlu dicermati, yaitu:
Pertama, pemerintah daerah (Kepala Daerah dan DPRD) harus dapat menempatkan demos sebagai aktor utama dalam pembuatan kebijakan, dan selalu memperhatikan identitas lokal yang dapat tumbuh dan berkembang serta dengan terus mempertahankan adat – istiadat, simbol – simbol yang terdapat pada masyarakat.
Kedua, tatakelola pemerintahan daerah semestinya berioentasi publik dalam pembangunan di daerah, baik dari sisi subtansi maupun proses. Dari sisi subtansi pembangunan berorientasi dalam pemecahan masalah dan pembangunan kesejahteraan masyarakat tentu dengan mempertimbangkan identitas lokal yang adadalam masyarakat dan paling penting pemerintah melibatkan masyarakat, termasuk ormas, aktivis CSO, termasuk kelompok masyarakat adat dalam proses pembuatan kebijakan, sehingga terjalin komunikasi sosial dan politik yang pantas.
Ketiga, pemberian penghargaan pada seorang tokoh terlepas apakah ada hubungan keluarga atau tidak adalah niat yang positif, namun demikian harus berangkat dari asas kegunaan dan kepatutan. Penghargaan tersebut dapat dengan simbol  simbol tetentu seperti, patung, nama jalan, nama bangunan, dan monumen lainnya tanpa merugikan dan mengambaikan kebijakan atau potensi yang lebih dibutuhkan masyarakat..
Keempat, adanya degradasi aktor demokrasi lokal, khususnya aktor-aktor dominan yang berkiprah sebagai pejabat publik anggota DPRD. Banyaknya penguasa yang memanipulasi konsep demokrasi untuk melakukan kekuasaan dominan yang akhirnya menjadi dasar dari penyipangan – penyimpangan yang dilakukan penguasa atau pemerintah yang merugikan rakyat. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kapasitas dan peran aktor demokrasi di daerah agar segala kebijakan – kebijakannya tidak menyimpang dari seharusnya sesuai dengan konsep demokrasi. 
Kelima, semakin terbatasnya demos yang kritis dan cenderung terkotak-kotak. mereka cenderung melakukan tindakan anarkis dalam merespon kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat.

·      Analisis Menurut Teori Karl Marx
Dalam pembahsan Bab 15 terdapat keganjalan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah seperti dalam kutipan “Melihat data BPS di tabel 15, menjadi lumrah tuntutan kelompok masyarakat dalam menolak kebijakan pembangunan patung ZA Pagaralam yang dinilai sebagai bentuk pemborosan, mengingat angka kemiskinan di Kabupaten Lampung Selatan masih sangat tinggi yakni sebesar 19,23% pada tahun 2011.” Kasus tersebut dapat dikaitkan dengan Teori Elite yang memberikan gagasan bahwa dalam suatu negara atau masyarakat terdapat kelompok elit dan kelompok massa. Mosca berpendapat kelompok elit terbagi atas dua kelas yaitu adanya penguasa yang memiliki jumlah yang lebih kecil yang akan mnjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang dibrikan oleh kekuasaan tersebut. Kelompok yang kedua adalah yang dikuasai yaitu kelompok yang jumlahnya lebih besar dan dikendalikan oleh kelas penguasa.
Melihat penjelasan kekuasaan menurut Teori Elit maka teori elit dapat digolongkan kedalam Model kekuasaan Strukturalis yang berbasiskan atas pemikrian Karl Marx tentang kelas. Dimana dalam teori tersebut menjelaskan  bahwa adanya dua kelas dalam memandang kekuasaan, yaitu adanya kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah adalah orang yang berkuasa yang mampu dan memiliki kecakapan memimpin dan menjalankan kontrol politik, sedangkan kelas yang diperintah merupakan kelas yang dikendalikan oleh kelas yang memerintah. Model kekuasaan strukturalis yang dikemukakan oleh Marx memandang juga melihat ketidakadilan, konflik dan kekuasaan dalam hal struktural, sebagai kelas kesenjangan, konflik kelas, dan kelas dominasi. Dalam penjelasan teori tersebut sesuai dengan kasus yang terjadi di Lampung Selatan mengenai perubuhan patung ZA Pagaralam kasus tersebut menyimbolkan adanya kekuasaan dominan yang memanipulasi atas nama demokrasi karena kebijakan pembangunan patung ZA Pagaralam yang dinilai sebagai bentuk pemborosan, mengingat angka kemiskinan di Kabupaten Lampung Selatan masih sangat tinggi yakni sebesar 19,23% pada tahun 2011.
Dengan adanya kekusaan dominan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut maka terciptalah konsep teori dari Karl Marx yaitu Perjuangan kelas. Karena adanya pembrontakan yang dilakukan oleh masyarakat sipil sebagai kelas yang dirugikan akan kebijakan tersebu, seperti dalam kutipan “Secara sepontan masyarakat dari berbagai unsur, baik kelompok aktivis, masyarakat adat serta masyarakat umum yang berjumlah ribuan menunjukkan perilaku kolektifnya sebagai bentuk menentang tindakan pembuat kebijakan, yaitu Bupati Lampung Selatan.” Hasil dari perjuangan kelas tersebut memicu adanya timbulnya konflik, karena terusiknya cultural identity masyarakat adat Lampung Selatan. Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pertentangan atau perselisihan yang terjadi pada hubungan yang bersifat individual yang terjadi sebagai akibat perilaku atau perbuatan kepentingan masing – masing individu yang bersangkutan. Kepentingan itu bisa berkenaan dengan harta, kedudukan  atau jabatan, kehormatan, dan lain sebagainya.

·         Analisis Menurut Teori Emile Durkheim
Dalam pemahasan Bab 15 terdapat kesoladaritas yang kuat diantara masyarakat dalam menentang kebijakan pemerintah, sepertidalam kutipan “Secara sepontan masyarakat dari berbagai unsur, baik kelompok aktivis, masyarakat adat serta masyarakat umum yang berjumlah ribuan menunjukkan perilaku kolektifnya sebagai bentuk menentang tindakan pembuat kebijakan, yaitu Bupati Lampung Selatan”. Menurut Emile Durkheim Soladaritas dibagi menjadi dua yaitu soladaritas mekanik dan soladaritas organik. Mengenai kasus perubuhan patung ZA Pagaralam memicu timbulnya kesadaran mekanik yang terjadi pada masyarakat dengan menunjukan adanya pemikiran yang sama dalam penolakan atas kebijakan pemerintah yang bersifat tidak memntingkan rakyat. Emile Durkheim berpendapat bahwa soladaritas mekanik adalah masyarakat yang memiliki volume, intensitas, dan determinasi yang tinggi serta rasio konten agama yang tinggi (menekankan komitmen dan kecocokan untuk mendiktekan kekuatan sakral). Sesuai dengan kasus yang terjadi pada masyarakat Lampung Selatan yang menyatukan perbedaan demi mewujudkan tujuan bersama dalam melawan kekuasaan yang otoriter dan dominan.

·      Analisis Menurut Teori Max Weber
Dalam pembahasan bab 15 ini terdapat teori Max Weber mengenai kekuasaan yang dapat terlihat dalam kutipan “pemerintah daerah (Kepala Daerah dan DPRD) harus dapat menempatkan demos sebagai aktor utama dalam pembuatan kebijakan, dan selalu memperhatikan identitas lokal yang dapat tumbuh dan berkembang serta dengan terus mempertahankan adat – istiadat, simbol – simbol yang terdapat pada masyarakat”. Menurut Max Weber kekuasaan sebagai kemungkinan bagi seseorang untuk memaksakan orang – orang lain berprilaku sesuai dengan kehendaknya. Kekuasaan (power) digambarkan dengan berbagai cara kekuasaan diartikan sebagai kemungkinan mempengaruhi tingkah laku oarang – orang. Dalam politik kekeuasaan diperlukan untuk mendukung dan menjamin jalannya sebuah keputusan politik dalam kehidupan masyarakat. Keterkaitan logis antara politik dengan kekuasaan menjadikan setiap pembahasan tentang politik, selalu melibatkan kekuasaan didalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar