Sistem perudangan kebudayaan mengacu pada
produk perundangan yang memanfaatkan warisan budaya sebagai objek hukum. Sebagai
contoh UU tentang cagar budaya, peraturan daerah tentang kebudayaan, hingga
terencana pemerintah membuat undang – undang kebudayaan. Lahirnya sebuah sistem
perudangan Undang – Undang haruslah didahului oleh sebuah kajian teoritis yang
dunamakan dengan Naskah Akademik. Kajian teoritis atas penjelasan ilmiah yang
memiliki legitimasi dari teori dan mendapatkan pembuktian secara empiris.
Dalam pembahasan kali inin penulis akan
menjelaskan tentang RUU Kebudayaan yang telah dirancang selama lima tahun lebih
(sejak 2010). Sampai tahun 2015, rancangan tersebut belum juga disahkan. Bila mencermati
kajian teoritis yang melahirkan RUU Kebudayaan, akan tampak jelas tentang asal –
usul dan tujuan adanya peraturan tersebut. Secara eksplisit, sebelum menjadi
RUU Kebudayaan, dalam naskah akademik tertulis “Perlindungan Kekayaan Negara
Atas Budaya”. Hal itu dimaksudkan bahwa lahirnya UU tersebut dijadikan sebagai
upaya Negara dalam melindungi kekayaan yang disebut dengan budaya. Budaya,
dengan begitu, menurut pandangan yang tertera dalam Naskah Akademik tersebut,
adalah sebuah aset, harta, kekayaan, atau apa pun bentuk konkret yang berfungsi
atribut pendukung status kekayaan kelompok atau individu. Budaya bersifat
ekstensional.
Berdasarkan skema berpikir di atas, maka RUU
Kebudayaan itu kemudian mengambil unsur – unsur yang dianggap relevan dengan
perkembangan mutakhir. Dalam hal bentuk, RUU mengambil lima unsur saja, yakni
(1) bahasa, (2) seni, (3) ilmu pengetahuan, (4) adat – istiadat, dan (5) cagar
budaya.
Daftar Pustaka:
Rohman, Saifur. dan Wibowo, Agus. (2016). Filsafat Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar