Sabtu, 17 Desember 2016

Konsep “Kebudayaan” dalam Sistem Perundangan



       Sistem perudangan kebudayaan mengacu pada produk perundangan yang memanfaatkan warisan budaya sebagai objek hukum. Sebagai contoh UU tentang cagar budaya, peraturan daerah tentang kebudayaan, hingga terencana pemerintah membuat undang – undang kebudayaan. Lahirnya sebuah sistem perudangan Undang – Undang haruslah didahului oleh sebuah kajian teoritis yang dunamakan dengan Naskah Akademik. Kajian teoritis atas penjelasan ilmiah yang memiliki legitimasi dari teori dan mendapatkan pembuktian secara empiris.
     Dalam pembahasan kali inin penulis akan menjelaskan tentang RUU Kebudayaan yang telah dirancang selama lima tahun lebih (sejak 2010). Sampai tahun 2015, rancangan tersebut belum juga disahkan. Bila mencermati kajian teoritis yang melahirkan RUU Kebudayaan, akan tampak jelas tentang asal – usul dan tujuan adanya peraturan tersebut. Secara eksplisit, sebelum menjadi RUU Kebudayaan, dalam naskah akademik tertulis “Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya”. Hal itu dimaksudkan bahwa lahirnya UU tersebut dijadikan sebagai upaya Negara dalam melindungi kekayaan yang disebut dengan budaya. Budaya, dengan begitu, menurut pandangan yang tertera dalam Naskah Akademik tersebut, adalah sebuah aset, harta, kekayaan, atau apa pun bentuk konkret yang berfungsi atribut pendukung status kekayaan kelompok atau individu. Budaya bersifat ekstensional.
     Berdasarkan skema berpikir di atas, maka RUU Kebudayaan itu kemudian mengambil unsur – unsur yang dianggap relevan dengan perkembangan mutakhir. Dalam hal bentuk, RUU mengambil lima unsur saja, yakni (1) bahasa, (2) seni, (3) ilmu pengetahuan, (4) adat – istiadat, dan (5) cagar budaya.

Daftar Pustaka:
Rohman, Saifur. dan Wibowo, Agus. (2016). Filsafat Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar