Rabu, 14 Desember 2016

Ontologi Pendidikan Prakolonial



     Ontologi pendidikan  dimengerti sebagai pencaharian esensi dari pendidika prakolonial. Esensi tersebut diperoleh melalui eksistensi yang menjadi dalam kurun waktu yang di mulai dari masa runtuhnya Majapahit abad ke-15 hingga masuknya Belanda ke Batavia (abad ke-18).

1.       Idealisme Pendidikan Pasca-Renaisance
     Pendidikan Pasca-renaisance ditandai dengan situasi yang menganut kebangkitan akal sehat dalam menangkap keimanan dan pengetahuan. Karena itu, kehadiran Islam dalam pandangan Hegel dianggap sebagai Revolusi Timur. Secara filosofis, konsep teologi (tauhid) dianggapnya memiliki orisionalitas dibandingkan dengan ideologi para pendahulunya, yakni Yahudi dan Kristen. Tuhan Yahudi hanya untuk orang yahudi, sedangkan Tuhan Islam untuk seluruh umat manusia. Karena itu, kebebasan manusia diserahkan kepada Tuhan yang satu dan manusai mengabdi kepada-Nya. Inilah yang kemudian disebut Hegel sebagai fanatisme. Karena itu, menurut Hegel (2004:492), abstraksi mewranai pemikiran orang Islam. Tujuan mereka adalah menetapkan pemujaan abstrak dan mereka berjuang untuk mencapainya dengan semangat yang manyala – nyala. Semangat ini adalah fanatisme,yaitu semangat sesuatu yang abstrak. Hakikat fanatifisme hanya berkaitan dengan hubungan destruktif yang gersang dengan yang konkret; namun pada saat yang sama, orang Islam mampu untuk mengadakan peninggian ynag terbesar satu peninggian yang bebas dari kepentingan yang picik, dan disatukan dengan segala kebaikan yang berhubungna dengan keluhuran budi dan keberanian.

2.       Identitas Pesantren
     Muhammad Abdullah  dalam “Tradisi Intelektual Islam dalam Sastra Melayu da Sastra Pesantren 1996” menuliskan tentang tradisi intelektual yang terjadi pada tahun 1500-an. Menurutnya pada kurun waktu itu tradisi intelektual kalangan pesantren masih kurang memeiliki pengaruuh. Berdasarkan penelusuran sejarah, di kemudian memberikan gambaran singkat tentang situasi intelektual masa itu. Dikatakan bahwa Nuruddin ar-Raniri dan Hamzah Fansuri melakaukan dialog ilmiah dalam buku – bukanya. Ketika Hamzah Fansuru memberikan ajaran wahdat al-wujud, ar-Raniri langsung menanggapi dengan kitab bertajuk Asrar al-Insan Fi Ma’rifati ar-Ruh wa ar-Rahman. Tulisan itu dianggap Abdullah sebagai berikut: “Langkah ini merupakan langkah pollitik Sultan untuk melindungi kekukasaannya ari berbagai ajaran Hamzah Fansuri (1996:195)”. Buku – buku yang ditulis pada masa itu tidak bisa dilepaskandari kehendak penguasa. Abdur Rauf as-Sinkili juga menyebutkan terekat Syatariyah yang memiliki paham wahdat al-wujud. Abdur Rauf juga menulis Daqaiq al-Huruf, Bayan Tajalli, Mir’at at-Tullab, dan hidayat al-Balighah.

3.       Pesantren Kolonial: Identifikasi Realitas Sosial
     Mustari dalam disertasinya berrtajuk “Etika Religius Syekh Yusuf dan Relevansinya bagi Dakwah Islam di Indonesia “(2009) mejelaskan tentang perjalanan spriritual Syekh Yusuf pada masa awal abad ke-17. Berdasarkan kajian terhadap 15 naskah  yang telah dihasilkan  oleh Syekh Yusuf, Mustari sampai pada simpulan bahwa pandangannya memiliki dua dimensi, yakni :
a.       Dimensi sosial merujuk pada pentingnya tanggung jawab individu di tengah – tengah masyarakat. Aspek sosial ini kemudian dirumuskan dalam kata –kata kunci yang menjadi basis etika religius Syekh Yusuf, yakni taubat, zuhud, tawakal, qana’ahm uzlah, tawajjuh, sabar, rida, zikir, ikhlas, dan muraqabah.
b.      Dimensi spiritual dilakukan malalui jalur tarekat, yakni syarikat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Jalur itu akan mendekatkan manusia pada nilai – nilai ketuhanan yang hakiki.
   Dua dimensi itulah yang kemudian dielaborasi Mustari untuk melihat relevansi pesantren dan tokohnya dalam realitas sosial pada masa itu. Etika religius yang dikembangkan di dalam struktur sosial pada masa itu bermanfaat sebagai batu pijakan perkembangan nilai – nilai sosial pada masa mendatang. 

4.       Pesantren Poskolonial: Koreksi Peran Negara
     Fenomena pesantrena di masa poskolonial atau pos-kemerdekaan merupakan bagian tak terpisahkan dari perkembangan – perkembangan yang terjadi sebelumnya.  Pada masa kini, pesantren menghadapi tantangan yang tidak ringan. Ada empat konstruksi pemikiran tentang pesantren masa kemerdekaan. Pertama, menurut struktuural masa ini merupakan kelanjutan peran organisasi keagamaan besar di Indonesia yakni Nadhatul Ulama dan Muhammaddiyah memengaruhi jalannya republik ini. Pada hakikatnya, dua organisasi itu menjadi basis massa dalam pembentukan institusi pollitik dan sosial. Kedua, secara sosial-kultural, peran pesantren sebagai institusi pendidikan masih berlangsung melalui mekanisme formal, yakni terbentuknya institusi baru bernama madrasah dan informal, yakni kehidupan pesantren salfiyah ditengah – tengah masyarakat. Ketiga, secara politis, pada kenyataanya, tokoh –tokoh yang mengedalikan republik ini juga dilahirkan dari lingkungan pesantren. Abdurrahman Wahid (1940-2009) adalah salah satu tokoh yang dilahirkan dari pendidikan pesantren yang dipercaya menjadi Presiden Keempat Republik Indonesia. Keempat, secara antropologis, pesantren merupakan ikatan dasar atas kemunculan institusi ekonomi, politik, sosial,, dan budaya yang berbasis pada budaya pesantren. Tokoh –tokoh politik memiliki latar belakang budaya pesantren yang sangat kuat sehinggan peran pesantren manjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan peardaban   di Indonesia.

5.       Identitas Baru Berbasis Pesantren
     Dalam persepektif Islam Nusantara, Mustofa Bisri telah berhasil membangun sebuah konstruksi baru tentang pesantren yang mengambil jarak dengan industrilisasi yang mengatasnamakan  modernitas. Industrilisasi adalah proyek yang menjadikan manusia sebagai sebuah sumber daya yang posisinya sama dengan sekrup di dalam sebuah mesin pemintal uang. Manusia dilihat berdasarkan gunanya. Karena itu, pesantren adalah mengembalikan manusia individu yang memiliki dimensi spiritual dan sosial. Dimensi spiritual adalah pengungkapan nilai – niali ultim dari diri manusia yang menhubungkan dengan kekuatan tak terbatas (Allah). Sedangkan dimensi sosial adalah penciptaan interaksi dengan lingkungan dan negara dalam konstruksi pembentukan masayarakat madani.


Daftar Pustaka :
Rohman, Saifur. dan Wibowo, Agus. (2016). Filsafat Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar