Ontologi pendidikan dimengerti sebagai pencaharian esensi dari
pendidika prakolonial. Esensi tersebut diperoleh melalui eksistensi yang
menjadi dalam kurun waktu yang di mulai dari masa runtuhnya Majapahit abad
ke-15 hingga masuknya Belanda ke Batavia (abad ke-18).
1.
Idealisme
Pendidikan Pasca-Renaisance
Pendidikan
Pasca-renaisance ditandai dengan situasi yang menganut kebangkitan akal sehat
dalam menangkap keimanan dan pengetahuan. Karena itu, kehadiran Islam dalam
pandangan Hegel dianggap sebagai Revolusi Timur. Secara filosofis, konsep
teologi (tauhid) dianggapnya memiliki orisionalitas dibandingkan dengan
ideologi para pendahulunya, yakni Yahudi dan Kristen. Tuhan Yahudi hanya untuk
orang yahudi, sedangkan Tuhan Islam untuk seluruh umat manusia. Karena itu,
kebebasan manusia diserahkan kepada Tuhan yang satu dan manusai mengabdi
kepada-Nya. Inilah yang kemudian disebut Hegel sebagai fanatisme. Karena itu,
menurut Hegel (2004:492), abstraksi mewranai pemikiran orang Islam. Tujuan mereka
adalah menetapkan pemujaan abstrak dan mereka berjuang untuk mencapainya dengan
semangat yang manyala – nyala. Semangat ini adalah fanatisme,yaitu semangat
sesuatu yang abstrak. Hakikat fanatifisme hanya berkaitan dengan hubungan
destruktif yang gersang dengan yang konkret; namun pada saat yang sama, orang
Islam mampu untuk mengadakan peninggian ynag terbesar satu peninggian yang
bebas dari kepentingan yang picik, dan disatukan dengan segala kebaikan yang
berhubungna dengan keluhuran budi dan keberanian.
2.
Identitas
Pesantren
Muhammad
Abdullah dalam “Tradisi Intelektual Islam
dalam Sastra Melayu da Sastra Pesantren 1996” menuliskan tentang tradisi
intelektual yang terjadi pada tahun 1500-an. Menurutnya pada kurun waktu itu
tradisi intelektual kalangan pesantren masih kurang memeiliki pengaruuh. Berdasarkan
penelusuran sejarah, di kemudian memberikan gambaran singkat tentang situasi
intelektual masa itu. Dikatakan bahwa Nuruddin ar-Raniri dan Hamzah Fansuri
melakaukan dialog ilmiah dalam buku – bukanya. Ketika Hamzah Fansuru memberikan
ajaran wahdat al-wujud, ar-Raniri langsung
menanggapi dengan kitab bertajuk Asrar
al-Insan Fi Ma’rifati ar-Ruh wa ar-Rahman. Tulisan itu dianggap Abdullah
sebagai berikut: “Langkah ini merupakan langkah pollitik Sultan untuk
melindungi kekukasaannya ari berbagai ajaran Hamzah Fansuri (1996:195)”. Buku –
buku yang ditulis pada masa itu tidak bisa dilepaskandari kehendak penguasa.
Abdur Rauf as-Sinkili juga menyebutkan terekat Syatariyah yang memiliki paham
wahdat al-wujud. Abdur Rauf juga menulis Daqaiq
al-Huruf, Bayan Tajalli, Mir’at at-Tullab, dan hidayat al-Balighah.
3.
Pesantren
Kolonial: Identifikasi Realitas Sosial
Mustari
dalam disertasinya berrtajuk “Etika Religius Syekh Yusuf dan Relevansinya bagi
Dakwah Islam di Indonesia “(2009) mejelaskan tentang perjalanan spriritual
Syekh Yusuf pada masa awal abad ke-17. Berdasarkan kajian terhadap 15
naskah yang telah dihasilkan oleh Syekh Yusuf, Mustari sampai pada simpulan
bahwa pandangannya memiliki dua dimensi, yakni :
a. Dimensi
sosial merujuk pada pentingnya tanggung jawab individu di tengah – tengah masyarakat.
Aspek sosial ini kemudian dirumuskan dalam kata –kata kunci yang menjadi basis
etika religius Syekh Yusuf, yakni taubat,
zuhud, tawakal, qana’ahm uzlah, tawajjuh, sabar, rida, zikir, ikhlas, dan muraqabah.
b.
Dimensi spiritual dilakukan malalui jalur tarekat,
yakni syarikat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Jalur itu akan mendekatkan
manusia pada nilai – nilai ketuhanan yang hakiki.
Dua dimensi itulah yang kemudian dielaborasi
Mustari untuk melihat relevansi pesantren dan tokohnya dalam realitas sosial
pada masa itu. Etika religius yang dikembangkan di dalam struktur sosial pada
masa itu bermanfaat sebagai batu pijakan perkembangan nilai – nilai sosial pada
masa mendatang.
4.
Pesantren
Poskolonial: Koreksi Peran Negara
Fenomena
pesantrena di masa poskolonial atau pos-kemerdekaan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perkembangan – perkembangan yang terjadi sebelumnya. Pada masa kini, pesantren menghadapi tantangan
yang tidak ringan. Ada empat konstruksi pemikiran tentang pesantren masa
kemerdekaan. Pertama, menurut
struktuural masa ini merupakan kelanjutan peran organisasi keagamaan besar di
Indonesia yakni Nadhatul Ulama dan Muhammaddiyah memengaruhi jalannya republik
ini. Pada hakikatnya, dua organisasi itu menjadi basis massa dalam pembentukan
institusi pollitik dan sosial. Kedua, secara
sosial-kultural, peran pesantren sebagai institusi pendidikan masih berlangsung
melalui mekanisme formal, yakni terbentuknya institusi baru bernama madrasah
dan informal, yakni kehidupan pesantren salfiyah ditengah – tengah masyarakat. Ketiga,
secara politis, pada kenyataanya, tokoh –tokoh yang mengedalikan republik ini
juga dilahirkan dari lingkungan pesantren. Abdurrahman Wahid (1940-2009) adalah
salah satu tokoh yang dilahirkan dari pendidikan pesantren yang dipercaya
menjadi Presiden Keempat Republik Indonesia. Keempat, secara antropologis, pesantren merupakan ikatan dasar atas
kemunculan institusi ekonomi, politik, sosial,, dan budaya yang berbasis pada budaya
pesantren. Tokoh –tokoh politik memiliki latar belakang budaya pesantren yang
sangat kuat sehinggan peran pesantren manjadi bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan peardaban di Indonesia.
5.
Identitas
Baru Berbasis Pesantren
Dalam persepektif Islam Nusantara,
Mustofa Bisri telah berhasil membangun sebuah konstruksi baru tentang pesantren
yang mengambil jarak dengan industrilisasi yang mengatasnamakan modernitas. Industrilisasi adalah proyek yang
menjadikan manusia sebagai sebuah sumber daya yang posisinya sama dengan sekrup
di dalam sebuah mesin pemintal uang. Manusia dilihat berdasarkan gunanya. Karena
itu, pesantren adalah mengembalikan manusia individu yang memiliki dimensi
spiritual dan sosial. Dimensi spiritual adalah pengungkapan nilai – niali ultim
dari diri manusia yang menhubungkan dengan kekuatan tak terbatas (Allah). Sedangkan
dimensi sosial adalah penciptaan interaksi dengan lingkungan dan negara dalam
konstruksi pembentukan masayarakat madani.
Daftar Pustaka :
Rohman, Saifur. dan Wibowo, Agus. (2016). Filsafat Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar