Persesuaian antara filsafat dan agama sudah sepantasnya dianggap
sebagai ciri terpenting filsafat Islam. Yang dalam perkembangannya
terdapat pertentangan-pertentangan antara filosof dengan fuqaha dan
teolog pada tingkat argumentatifnya.
Adapun kajian filsafat agama dalam perspektif filosof Muslim telah
banyak menyumbang akan pesatnya perkembangan peradaban dalam Islam.
Mula-mulanya para filosof Muslim terkemuka bermula sebagai ilmuwan, yang
kemudian beralih sebagai filosof, yakni filosof adalah orang yang
berani dalam pemikiran, selanjutnya berani dalam sikap hidup dan
pandangan dunia sebagai hasil dari pemikiran itu (seperti: al-Farabi,
ibn Sina, ibn Rusyd dan yang lainnya).
Bahkan dalam hal ini al-Kindi diklasifikasikan sebagai filosof alami,
meskipun al-Kindi sering kali memberi keseimbangan atas hasil karya
filosof Yunani;
misalnya, risalah al-Kindi tentang filsafat awal, bahwa “filsafat
adalah pengetahuan tentang hakikat segala suatu dalam batas-batas
kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori ialah
mencapai kebenaran, dan dalam berpraktek, ialah menyesuaikan dengan
kebenaran.” Pada akhir risalahnya, ia menyifati Allah dengan istilah
“kebenaran”, yang merupakan tujuan filsafat. “Maka Satu Yang Benar
(al-Wahid al-Haq) adalah yang pertama, Sang Pencipta, Sang Pemberi Rizki
semua ciptaan-Nya…” pandangan ini berasal dari filsafat Aristoteles,
tetapi ‘Penggerak Tak Tergerakkan’ (Unmoveable Mover)-nya Aristoteles
diganti dengan sang ‘Pencipta’; perbedaan ini menjadi inti system
filsafat al-Kindi.
Doktrin al-Farabi untuk mencapai kesesuaian antara filsafat dan agama
telah dikritik oleh al-Ghazali, namun sikap heran sementara ditujukan
oleh ibnu Sina dan ibn Rusyd yang sekaligus keduanya terkagum akan karya
al-Farabi. Ibn Sina mengikuti sepenuhnya teori al-Farabi tentang
kenabian dan Ibn Rusyd mengakui keabsahan teori ini. Karya al-Farabi
yang selain tentang teori kenabian antara lain: 1. Logika, 2. Kesatuan
Filsafat, 3, Teori 10 Kecerdasan, 4. Teori tentang Akal, 5. Penafsiran atas al-Qur'an; dan, 6. Teori tentang Kenabian. “Al - Farabi
hampir memandang segala sesuatu sebagai jiwa. Tuhannya adalah jiwa dari
segala jiwa, lingkungan-lingkungan astronomisnya diatur oleh jiwa-jiwa
langit, dan pangeran kotanya adalah seorang yang jiwa mengatasi
tubuhnya”. Spiritualisme ini berakar pada gagasan-gagasan dan
konsepsi-konsepsi, dan secara keseluruhan untuk dispekulasikan dan
direnungkan . yang Esa adalah renungan tiada tara dan akal yang
mengakali diri. Kemaujudan-kemaujudan lainnya disebabkan oleh akal ini.
Melalui spekulasi dan perenungan, manusia dapat berhubungan dengan dunia
langit dan memperoleh kebahagiaan sempurna.
Lain halnya menurut Muhammad ibn Zakaria al-Razi (seorang rasionalis
murni) yang menolak tugas dan fungsi kenabian, terutama menolak mu’jizat
(i’jaz) al-Qur’an, baik karena gayanya maupun isinya. Ia lebih menyukai
buku-buku ilmiah daripada kitab-kitab suci, sebab buku-buku ilmiah
lebih berguna bagi kehidupan manusia daripada kitab-kitab suci.
Buku-buku kedokteran, geometri, astronomi dan logika lebih berguna dari
pada Injil dan Al-Qur’an. Meskipun ia percaya adanya Tuhan, namun ia tidak mempercayai agama manapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar