Minggu, 25 Desember 2016

Kajian Filsafat Agama dalam Perspektif Filosof Muslim

    Persesuaian antara filsafat dan agama sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting filsafat Islam. Yang dalam perkembangannya terdapat pertentangan-pertentangan antara filosof dengan fuqaha dan teolog pada tingkat argumentatifnya.
Adapun kajian filsafat agama dalam perspektif filosof Muslim telah banyak menyumbang akan pesatnya perkembangan peradaban dalam Islam. Mula-mulanya para filosof Muslim terkemuka bermula sebagai ilmuwan, yang kemudian beralih sebagai filosof, yakni filosof adalah orang yang berani dalam pemikiran, selanjutnya berani dalam sikap hidup dan pandangan dunia sebagai hasil dari pemikiran itu (seperti: al-Farabi, ibn Sina, ibn Rusyd dan yang lainnya).
     Bahkan dalam hal ini al-Kindi diklasifikasikan sebagai filosof alami, meskipun al-Kindi sering kali memberi keseimbangan atas hasil karya filosof Yunani; misalnya, risalah al-Kindi tentang filsafat awal, bahwa “filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala suatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam berpraktek, ialah menyesuaikan dengan kebenaran.” Pada akhir risalahnya, ia menyifati Allah dengan istilah “kebenaran”, yang merupakan tujuan filsafat. “Maka Satu Yang Benar (al-Wahid al-Haq) adalah yang pertama, Sang Pencipta, Sang Pemberi Rizki semua ciptaan-Nya…” pandangan ini berasal dari filsafat Aristoteles, tetapi ‘Penggerak Tak Tergerakkan’ (Unmoveable Mover)-nya Aristoteles diganti dengan sang ‘Pencipta’; perbedaan ini menjadi inti system filsafat al-Kindi.
  Doktrin al-Farabi untuk mencapai kesesuaian antara filsafat dan agama telah dikritik oleh al-Ghazali, namun sikap heran sementara ditujukan oleh ibnu Sina dan ibn Rusyd yang sekaligus keduanya terkagum akan karya al-Farabi. Ibn Sina mengikuti sepenuhnya teori al-Farabi tentang kenabian dan Ibn Rusyd mengakui keabsahan teori ini. Karya al-Farabi yang selain tentang teori kenabian antara lain: 1. Logika, 2. Kesatuan Filsafat, 3, Teori 10 Kecerdasan, 4. Teori tentang Akal, 5. Penafsiran atas al-Qur'an; dan, 6. Teori tentang Kenabian. “Al - Farabi hampir memandang segala sesuatu sebagai jiwa. Tuhannya adalah jiwa dari segala jiwa, lingkungan-lingkungan astronomisnya diatur oleh jiwa-jiwa langit, dan pangeran kotanya adalah seorang yang jiwa mengatasi tubuhnya”. Spiritualisme ini berakar pada gagasan-gagasan dan konsepsi-konsepsi, dan secara keseluruhan untuk dispekulasikan dan direnungkan . yang Esa adalah renungan tiada tara dan akal yang mengakali diri. Kemaujudan-kemaujudan lainnya disebabkan oleh akal ini. Melalui spekulasi dan perenungan, manusia dapat berhubungan dengan dunia langit dan memperoleh kebahagiaan sempurna.
   Lain halnya menurut Muhammad ibn Zakaria al-Razi (seorang rasionalis murni) yang menolak tugas dan fungsi kenabian, terutama menolak mu’jizat (i’jaz) al-Qur’an, baik karena gayanya maupun isinya. Ia lebih menyukai buku-buku ilmiah daripada kitab-kitab suci, sebab buku-buku ilmiah lebih berguna bagi kehidupan manusia daripada kitab-kitab suci. Buku-buku kedokteran, geometri, astronomi dan logika lebih berguna dari pada Injil dan Al-Qur’an. Meskipun ia percaya adanya Tuhan, namun ia tidak mempercayai agama manapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar