Minggu, 25 Desember 2016

Index Tugas Blog Filsafat Pitriyani 2290150032 Pendidikan Sosiologi


Tugas Blog, sebagai berikut:


Pancasila sebagai sistem filsafat

    Pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat  dapat dilakukan dengan cara deduktif dan induktif.
·      Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif.
·  Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala-gejala itu.
   Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat  bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki
    Dengan demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme dan sebagainya.

Ciri sistem Filsafat Pancasila itu antara lain:
1.  Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila.
2.  Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan sebagai berikut:
  • Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;
  • Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4 dan 5;
  • Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5;
  • Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan menjiwai sila 5;
  •  Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.
Inti sila-sila Pancasila meliputi:
  • Tuhan, yaitu sebagai kausa prima
  •   Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial
  • Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri
  • Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong
  • Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
      Membahas Pancasila sebagai filsafat berarti  mengungkapkan konsep-konsep kebenaran Pancasila yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan juga bagi manusia pada umumnya.


Kajian Filsafat Agama dalam Perspektif Filosof Muslim

    Persesuaian antara filsafat dan agama sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting filsafat Islam. Yang dalam perkembangannya terdapat pertentangan-pertentangan antara filosof dengan fuqaha dan teolog pada tingkat argumentatifnya.
Adapun kajian filsafat agama dalam perspektif filosof Muslim telah banyak menyumbang akan pesatnya perkembangan peradaban dalam Islam. Mula-mulanya para filosof Muslim terkemuka bermula sebagai ilmuwan, yang kemudian beralih sebagai filosof, yakni filosof adalah orang yang berani dalam pemikiran, selanjutnya berani dalam sikap hidup dan pandangan dunia sebagai hasil dari pemikiran itu (seperti: al-Farabi, ibn Sina, ibn Rusyd dan yang lainnya).
     Bahkan dalam hal ini al-Kindi diklasifikasikan sebagai filosof alami, meskipun al-Kindi sering kali memberi keseimbangan atas hasil karya filosof Yunani; misalnya, risalah al-Kindi tentang filsafat awal, bahwa “filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala suatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam berpraktek, ialah menyesuaikan dengan kebenaran.” Pada akhir risalahnya, ia menyifati Allah dengan istilah “kebenaran”, yang merupakan tujuan filsafat. “Maka Satu Yang Benar (al-Wahid al-Haq) adalah yang pertama, Sang Pencipta, Sang Pemberi Rizki semua ciptaan-Nya…” pandangan ini berasal dari filsafat Aristoteles, tetapi ‘Penggerak Tak Tergerakkan’ (Unmoveable Mover)-nya Aristoteles diganti dengan sang ‘Pencipta’; perbedaan ini menjadi inti system filsafat al-Kindi.
  Doktrin al-Farabi untuk mencapai kesesuaian antara filsafat dan agama telah dikritik oleh al-Ghazali, namun sikap heran sementara ditujukan oleh ibnu Sina dan ibn Rusyd yang sekaligus keduanya terkagum akan karya al-Farabi. Ibn Sina mengikuti sepenuhnya teori al-Farabi tentang kenabian dan Ibn Rusyd mengakui keabsahan teori ini. Karya al-Farabi yang selain tentang teori kenabian antara lain: 1. Logika, 2. Kesatuan Filsafat, 3, Teori 10 Kecerdasan, 4. Teori tentang Akal, 5. Penafsiran atas al-Qur'an; dan, 6. Teori tentang Kenabian. “Al - Farabi hampir memandang segala sesuatu sebagai jiwa. Tuhannya adalah jiwa dari segala jiwa, lingkungan-lingkungan astronomisnya diatur oleh jiwa-jiwa langit, dan pangeran kotanya adalah seorang yang jiwa mengatasi tubuhnya”. Spiritualisme ini berakar pada gagasan-gagasan dan konsepsi-konsepsi, dan secara keseluruhan untuk dispekulasikan dan direnungkan . yang Esa adalah renungan tiada tara dan akal yang mengakali diri. Kemaujudan-kemaujudan lainnya disebabkan oleh akal ini. Melalui spekulasi dan perenungan, manusia dapat berhubungan dengan dunia langit dan memperoleh kebahagiaan sempurna.
   Lain halnya menurut Muhammad ibn Zakaria al-Razi (seorang rasionalis murni) yang menolak tugas dan fungsi kenabian, terutama menolak mu’jizat (i’jaz) al-Qur’an, baik karena gayanya maupun isinya. Ia lebih menyukai buku-buku ilmiah daripada kitab-kitab suci, sebab buku-buku ilmiah lebih berguna bagi kehidupan manusia daripada kitab-kitab suci. Buku-buku kedokteran, geometri, astronomi dan logika lebih berguna dari pada Injil dan Al-Qur’an. Meskipun ia percaya adanya Tuhan, namun ia tidak mempercayai agama manapun.